SISTEM POLITIK INDONESIA
ORDE BARU (MASA DEMOKRASI PANCASILA) 1965-1998
A.
Praktek
politik pada masa demokrasi pancasila (apakah demokratis atau tidak) ?
Menurut hasil analisa
terhadap bukti-bukti sejarah pada masa demokrasi pancasila (masa orde baru),
praktek politik saat itu semakin menjauh dari kata demokratis, walaupun saat
itu terjadi hegemoni terhadap pancasila tapi hal itu hanya sebatas kedok,
karena pada prakteknya pemerintahan Soeharto dapat dikategorikan sebagai
pemerintahan yang otoriter. Banyak sekali penyimpangan yang dilakukan era orde
baru terkait dengan praktek politik yang dijalankan yang mengakibatkan jalannya
pemerintahan tidak demokratis, adapun bentuk-bentuk praktek politiknya
diantaranya adalah:
1.
Adanya dominasi militer dalam politik Indonesia era orde baru
Pemerintahan orde baru dibawah kendali
Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan
psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan
penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang
diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada posisi strategis
pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an,
separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain
melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer
melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat
daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk
pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur
Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan
militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat
atas pemerintahan orde baru. Dampak dominasi militer pada masa orde baru munculnya
rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi karena dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia
dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak
bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan
kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai
politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap
aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan
sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi
sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971),
Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998),
Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan
aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki Kontras (komisi
orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban
tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya
penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer ditimur-timur,
Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap
sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan
pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan
penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam
netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau
memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam
DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam
penyelenggaraan Negara.
2.
Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah
warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian bahasa mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa
Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin
yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama khonghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga
Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh Komunisme di
Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan
politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena
khawatir akan keselamatan dirinya.
B.
Kestabilan
politik pada masa orde baru (dominasi golkar disebabkan oleh beberapa faktor)
Sebutkan!
Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada
masalah pembangunan ekonomi, maka prasyarat utamanya tentunya masalah
stabilitas politik. Sedangkan saat itu tidak ada kekuatan di Indonesia saat itu
yang lebih memungkinkan digunakan untuk menciptakan stabilitas selain militer.
Atas pertimbangan inilah kemudian Soeharto melakukan upaya menciptakan
stabilitas politik, salah satu langkah yang diambil yakni menempatkan militer
dalam posisi strategis pemerintahan dan lembaga politik khususnya Golkar dan
lembaga legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat dan
”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas
oposisi.
Memang saat itu kestabilan politik terwujud karena adanya
praktek politik yang dilakukan oleh Soeharto yang meng-anak emaskan golkar. Sehingga
golkar mampu dominan daripada partai PDI ataupun PPP. Adapun faktor-faktor
penyebab dominannya partai golkar adalah:
1.
Peraturan Monoloyalitas yaitu kebijakan pemerintahan orde baru
yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi
politiknya kepada golongan karya.
Pada masa orde baru ini terlihat sekali
terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi
sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrumen
politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi
masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil
(PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin
disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya,
Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.
Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan
tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang
yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan
diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar,
maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan
daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu
partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari
birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai
pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan
pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan
partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dukungan yang
diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga
dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah
Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di
Indonesia sangat banyak jumlahnya
2.
Dominasi Militer dalam tubuh Golkar.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar,
kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer
yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas
pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai dari
dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar. Ketua Sekber Golkar di Dati I
pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula yang masih aktif. Ketua
Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar
di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI menempatkan perwira aktif kedalam
struktur DPP dan hampir seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan
ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif.
C.
Mengapa
politik orde baru tumbang? (dilihat dari supra/ infrastruktur)
Pada pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda Asia yang
menyebabkan kondisi ekonomi negara-negara Asia termasuk Indonesia sangat
memprihatinkan. Adapun krisis ini disebabkan karena keterikatan sistem ekonomi
Indonesia atau global dimana IMF, Bank Dunia, dan lembaga keuangan lain menjadi
salah satu sumber keuangan Indonesia dalam pembiayaan pembangunan nasional.
Krisis ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai mata uang rupiah bersamaan
dengan melambungnya nilai mata uang dollar serta diikuti dengan melambungnya
harga-harga kebutuhan sembako, harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya
yang semakin jatuh.
Ada dua pendapat yang menyatakan terjadinya krisis ekonomi di
Asia, khususnya di Indonesia adalah: Pertama, pendapat ini menekankan bahwa
krisis ini tidak dipengaruhi oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah atau
faktor-faktor internal suatu negara, tetapi lebih disebabkan oleh para pelaku
di pasar modal. Seperti yang dikemukakan oleh Obstfeld (1996) dan
Griffith-Jones (1998), serangan spekulator tidak didorong oleh lemahnya fundamental
ekonomi tetapi lebih disebabkan oleh ekspektasi memburuknya kondisi
makroekonomi suatu negara, yang ironisnya merupakan dampak dari perilaku para
spekulan tersebut, sehingga para spekulan dapat melakukan aksi profit taking
yang sebesar-besarnya sebelum krisis dan pasca krisis. Kedua, pendapat ini
dikemukakan oleh ekonom terkenal yaitu Krugman (1998) yang menyatakan bahwa
krisis ini adalah ‘hukuman’ bagi ‘dosa’ yang dilakukan negara-negara Asia pada
umumnya. Pihak swasta meyakini pemerintah akan membantu dan memberikan jaminan
sepenuhnya terhadap kewajiban luar negeri apabila mereka terlibat kesulitan
(Subandoro, Ali Winoto dalam Selo Soemardjan, 1999 : 78). Kontradiksi internal
yang demikian menciptakan keretakan pada dinding sistem politik Orde Baru. Kontradiksi
ini juga memberi keterbukaan politik bagi kelompok-kelompok yang pro-reformasi,
khususnya kaum intelektual, aktivis sosial, politik, dan mahasiswa yang
berjuang untuk demokrasi yang lebih baik sejak awal Orde Baru. Gerakan
mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa yang ditandai dengan
tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan,
tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis
moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya
beli masyarakatpun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda
nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat
simpati dan dukungan dari rakyat. Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan
gedung-gedung DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota
di Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat
bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organisasi mahasiswa yang
mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena
mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya
Presiden tercapai, tapi perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan
tragedi Semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan
aparat militer bersenjata (Hikam, Muhammad. 1999: 85). Era reformasi di
Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden
Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang
menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan
terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organisasi aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot
setelah tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu
kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir
diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri,
Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Ni’matul.2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Wayan, I
Badrika.(2006).Sejarah:Untuk SMA Kelas XI.Jakarta:
Erlangga.
Mas’oed Mohtar (1997).
“Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Pustaka Pelajar Yogyakarta.