ads

loading...

Tuesday, March 15, 2016

MAKALAH FILSAFAT ILMU HUKUM PENTINGNYA SIKAP SKEPTIS TERHADAP ILMU HUKUM

Hi...
Ehmmm.... to the point, Malam ini ku share lagi ilmu yang mungkin sedikit berguna, mengenai Pentingnya sikap Skeptis. Sikap Skeptis tidak selamanya negatif, tapi juga bisa digunakan sebagai sarana membangun tak terkecuali untuk bidang Hukum.
Makalah ini dulu sebagai tugas kuliah penulis ketika semester 5 mengenai filsafat hukum. Semoga Makalah ini dapat berguna bagi pembaca untuk referensi pembuatan makalah.
Have a nice reading..
*)jangan lupa ya cantumkan pustaka/ sumber kutipan kalau mau copy paste materi berikut.

Regards
Inggit Bayu Setyawan 

MAKALAH
“PENTINGNYA SIKAP SKEPTIS TERHADAP ILMU HUKUM”







BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG
Di dalam suatu masa, Negara, perkembangan ilmu, maupun masyarakat dapat dipastikan di antara sekian banyak yang mendukung terhadap tatanan yang berlaku saat itu terdapat segilintir keraguan dan ketidakpercayaan. Dalam suatu istilah keraguan dan ketidakpercayaan tersebut dinamakan sikap skeptis.
Sikap skeptis ini merupakan suatu sikap yang harus disikapi secara benar oleh semua pihak, karena tanpa menghilangkan hal-hal negative yang  timbul dari sikap skeptis ini, terdapat banyak hal positif yang dapat dipetik dari adanya sikap skeptis ini. Salah satu contoh hal positif yang dapat dipetik dari sikap skeptis adalah sebagai berikut: dalam suatu pemerintahan pasti didalamnya terdapat pendukung atau sering disebut dengan Pro pemerintahan yang akan selalu mendukung seluruh kebijakan pemerintah, namun disamping orang orang yang Pro terdapat sekelompok orang yang meragukan dan tidak percaya yang sering disebut pihak oposisi yang merupakan cerminan dari sikap skeptis. Lalu apa yang dilakukan pihak oposisi? Disinilah sisi positifnya mereka mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga pemerintah setidaknya akan mengkoreksi kembali kebijakannya apakah sudah sesuai atau belum. Sehingga dalam berjalannya waktu sikap  skeptis ini jika disikapi secara benar akan menjadi suatu alat yang dapat mengkontrol suatu tatanan yang ada dalam masyarakat, bangsa, dan Negara agar tidak terjadi suatu penyelewengan kekuasaan.
Namun yang akan dibicarakan dalam makalah ini bukanlah tentang contoh diatas, yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah peranan sikap skeptis dalam perkembangan ilmu hukum.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Skeptis
a.       Apa pengertian skeptis ?
b.      Apa sebab-sebab munculnya sikap skeptis ?
c.       Apa macam-macam sikap skeptis ?
d.      Bagaimana ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama memandang sikap skeptis ?
2.         Ilmu hukum
a.       Apa pengertian Ilmu hukum
b.      Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam mengembangkan ilmu hukum?
3.         Pentingnya sikap skeptis terhadap ilmu hukum
a.       Apa sajakah bagian dari ilmu hukum yang perlu untuk diragukan (di skeptis-kan?
b.      Apa peran skeptis terhadap upaya-upaya pengembangan ilmu hukum?


C.      TUJUAN PENULISAN
1.         Mengetahui pengertian dari skeptis.
2.         Mengetahui penyebab munculnya sikap skeptis
3.  Mengetahui tentang bagaiamana sikap skeptis ini jika dipandang dari kacamata ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
4.         Mengetahui pengertian ilmu hokum
5.         Mengetahui upaya-upaya dalam mengembangkan ilmu hukum
6.         Mengetahui bagian-bagian ilmu hukum yang perlu di ragukan (di Skeptis-kan)
7.         Mengetahui peran skeptis terhadap upaya-upaya pengembangan ilmu hukum

BAB II
PEMBAHASAN


A.      SKEPTIS
1.    PENGERTIAN
Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Dalam penggunaan sehari-hari skeptis-isme bisa berarti:
a.         Suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;
b.         Doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau
c.         Metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (merriam-webster).

Dalam filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
a.         Sebuah pertanyaan,
b.   Metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
c.         Kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,
d.        Keterbatasan pengetahuan,
e.         Metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.

2.    SEBAB-SEBAB MUNCULNYA SIKAP SKEPTIS
Sikap skeptis merupakan sebuah paham yang mengajarkan manusia untuk curiga, tidak mudah percaya, dan bersikap hati-hati atas tindakan orang lain. Skeptisisme memang menyebar di kalangan intelektual, setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Nassim Thaleb dalam Black Swan. Sikap skeptis juga berkembang dalam hubungan antar manusia. Dalam dunia yang semakin dipenuhi kebohongan, dan kemunafikan, kepercayaan dan integritas bagaikan sebuah mata uang. Mata uang dipergunakan untuk dipertukarkan, layaknya manusia, bila ingin dipercaya orang lain, ia harus menunjukan bahwa ia dapat dipercaya.
a.         Berfikir kritis
     Skeptis itu identik dengan kritis. Tidak cukup dengan membenarkan keraguan, kalau perlu sekalian meragukan kebenaran. Yang demikian benar-benar telah terjadi, karena kajian-kajian post-modernis sudah mengabaikan sepenuhnya masalah kebenaran. Sebab, menurut mereka, kebenaran itu absurd, sama halnya seperti kejahatan. Oleh karena itu, mereka senantiasa berada dalam keraguan. Karena sikap semacam itu, mereka menganggap dirinya cendekia dan sudah berfilsafat. Meliahat sesuatu dari pengalaman dan metodenya cenderung masyarakat akan berfikir ulang saat memahami sesuatu yang baru


b.        Prinsip
Prinsip yang senantiasa mereka tanamkan. Prinsip “membuka pintu ijtihad” digunakan dengan memberi kesan bahwa semua pendapat terdahulu salah dan perlu diperbarui. Mereka senantiasa ragu dengan agamanya sendiri dan merasa perlu mencari ‘kebenaran-kebenaran lain’ yang tidak dapat ditemukan di agamanya itu. Bicara tentang al-Qur’an, yang dibahas adalah budaya Arab, seolah-olah al-Qur’an diturunkan untuk mendukung budaya Arab. Bahkan kalau sudah membahas hadits, tidak jarang langsung dipotong dengan retorika “Banyak hadits yang tidak shahih!”, seolah-olah tidak mungkin lagi menemukan hadits yang shahih dan bisa dipercaya kebenarannya.

3.    MACAM-MACAM SIKAP SKEPTIS
Macam-macam Skeptis, diantaranya adalah skeptis mutlak atau skeptis universal dan skeptis nisbi atau skeptis partikular. Skeptis mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran. Jenis skeptis yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam prakteknya jarang diikuti orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati. Bahkan, kaum skeptis di zaman Yunani kuno di atas yang kadang disebut sebagai penganut skeptis mutlak, rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup hal yang diragukannya. Skeptis mutlak dalam prakteknya jarang diikuti karena memang suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya). Mengapa secara eksistensial bersifat kontradiktif? Karena, seperti sudah ditunjukkan oleh Socrates dalam wawancara polemisnya dengan kaum sofis, seorang skeptisis secara implisit (dalam praktek) menegaskan kebenaran dari apa yang secara eksplisit (dalam teori) diingkarinya. Sedangkan skeptis nisbi atau partikular tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptis nisbi ini, walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri (self-defeating) sebagaimana skeptis mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia dan kebenarannya.

4.    SKEPTISME MENURUT ILMU PENGETAHUAN
Skeptisime sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti” “Saya ragu-ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend, palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya.
Sifat semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuan diharapkan skeptis. Ilmuan tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta yang lain supaya percaya, maka celakalah.

5.    SKEPTISISME MENURUT FILSAFAT
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian didalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran traits mengenai "Skeptikoi". Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott) (Liddell and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan.

6.    SKEPTISISME MENURUT AGAMA
Seperti yang ada dalam pembahasan sebelumnya bahwa inti dari sikap skeptisime adalah suatu keraguan, dan ketidakyakinan. Sikap skeptimisme ini tercermin tidak ada bedanya dengan science/ ilmu pengetahuan yang mencoba untuk membuktikan segala yang ada berdasar atas fakta-fakta yang nyata dan disertai dengan alasan/ teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan alasan seperti itulah yang membuat sikap skeptis tidak dapat di gunakan secara mentah mentah dalam mengkaji masalah agama. Karena agama yang dibicarakan disini merupakan suatu keyakinan hati. Merujuk kepada hal tersebut john f. Haught [1995], yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran haught tentang hubungan sains dan agama, sebagai berikut :
a.         pendekatan konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
b.   Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan [teolog] tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
c.  Pendekatan kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyataan, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.
d.        Pendekatan Konfirmasi
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa, pendekatan konfirmasi adalah memperkuat atau mendukung. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.

B.       ILMU HUKUM
1.    PENGERTIAN
Dalam memberikan pengertian/ definisi terhadap ilmu hukum itu sendiri ahli hukum di dunia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a.              Kelompok Pertama
Kelompok pertama berpendapat bahwa: tidak mungkin definisi ilmu hukum yang memuaskan , karena hokum itu abstrak , banyak seginya dan luas sekali cakrawalanya ( pendapat Imanuel Kant , Lemaire, Gustav Radbruch, Walter Burckhardt).
b.             Kelompok Kedua
Kelompok Kedua berpendapat bahwa walaupun tidak memuaskan definisi hukum tetap harus di berikan karena bagi pemula yang mempelajari hukum tetap ada manfaatnya paling tidak sebagai pegangan sementara (pendapat aristoteles , Hugo de Groot / Grotius , Thomas Hobbes , van volen hoven , Bellefroid , Hans Kelsen dan Utrecht).
Istilah Ilmu Hukum yang kita pergunakan ini adalah terjemahan dari Rechtswetenschap (Belanda) dan (Inggris). Istilah Rechtswetenschap dan Rechtswissenschaft menunjuk pada pengertian ilmu tentang hukum atau ilmu yang mempelajari hukum atau ilmu yang objek kajiannya adalah hukum. Sedangkan Jurisprudende (Inggris), berasal dari bahasa Latin juris yang berarti hukum dan prudence yang berarti pengetahuan. Jadi jurisprudence dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum.
Menurut Paul Scholten, Ilmu Hukum yanng sesungguhnya adalah bidang studi yang menelaah hukum yang berlaku sebagai suatu besaran. Sementara menurut Arief Sidahrta, Ilmu Hukum itu adalah ilmu yang menghimpun, memaparkan, menginterpretasikan dan mensistematisasikan hukum positif yang berlaku di suatu masyarakat atau negara tertentu, yakni sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum
yang bagian-bagian pentingnya dipositifkan oleh pengemban kewenangan hukum dalam masyarakat atau negara yang besangkutan.
Adapun tugas dari ilmu hukum itu sendiri adalah : 
a.         Menciptakan manusia yang baik secara moral :
·           mempunyai keyakinan diri
·           dapat mengawasi diri sendiri
·           mempunyai naluri disiplin diri
b.         menciptakan masyarakat yang tertib :  
·           dimana terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban
·           dimana terdapat keadilan social
·        terdapat keseimbangan antara kepentingan yang bertentangan yang harus diperhatikan oleh penguasa atau masyarakat yang bersangkutan
·     dimana seluruh potensi dalam masyarakat dapat menjalankan fungsinya masing-masing sesuai norma social yang berlaku.

2.    UPAYA  DALAM MENGEMBANGKAN ILMU HUKUM
Ilmu hukum mempunyai hakikat interdipliner. Hakikat ini kita ketahui dari digunakannya berbagai displin ilmu pengetahuan untuk membantu aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.
Pembedaan antara ilmu hukum dan hukum didasarkan pada kenyataan bahwa hukum merupakan suatu gejolak sosial dan alat yang mempunyai kemampuan utnuk mempelajari gejala tersebut secara ilmiah disebut sebagai ilmu hukum.istilah tersebut menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan. Untuk mengembangkan ilmu hukum maka diperlukan:
a.    Penelitian hukum
       Sebuah penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan usaha kaidah tentang tingkah laku yang benar. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan usaha yang telah diawali dengan suatu penilian, oleh karena kaidah-kaidah tingkah laku dan untuk mengadakan sistimatik atau semacam kompilasi dari kaidah-kaidah yang telah mantap tanpa meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Sebuah penelitian adalah melihat dari beberapa peristiwa yang memilki kesimpulan bukan hanya teori semata.

b.   Diskusi
Diskusi-diskusi yang dimaksud dalam rangka pengembangan ilmu hukum adalah diskusi yang dilakukan oleh para Ahli Hukum ataupun yang dilakukan oleh civitas akademika dalam hal ini mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi tentang bagaimana nilai-nilai hukum yang berlaku saat ini, masih relevankah hukum dengan perkembangan masyarakat saat ini, apakah hukum yang berlaku sudah mencakup kepentingan masyarakat banyak, dan sudah betulkah proses terbentuknya hukum itu sendiri. Hal-hal tersebut telah sepatutnya sering didiskusikan baik dalam rangkaian seminar, kuliah, ataupun ketika telah terjun mengabdi dalam masyarakat. Apabila diskusi-diskusi seperti ini mampu berjalan sebagaimana mestinya maka dapat dipastikan perkembangan ilmu hukum akan berjalan menuju arah yang lebih baik dari sebelumnya.

C.      PERAN SIKAP SKEPTIS TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU HUKUM
Ilmu Hukum adalah hasil tarik menarik berbagai kepentingan didalam masyarakatnya. Ia tidak dapat ditentukan menurut ukuran-ukuran subyektif individu orangnya, tetapi mengalir sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan yang ada . Dan selalu ditampilkan atau diperjuangkan lewat bahasa permainan kata-kata atau ‘language game’. Tak ada pembenaran absolute yang bisa merumuskan keadilan yang sempurna, apalagi kebenaran ilmu hukum adalah kebenaran dari hasil tarik menarik otak-otak kecil diantara manusia untuk kepentingan serta manfaat masing-masing golongan masyarakatnya itu sendiri. Sedangkan kebenaran absolute adalah kebenaran semesta yang me-representasikan kebenaran agung sang Khalik Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu bisa saja dalam undang-undang kita, ternyata ada hukum yang sandarannya ternyata salah, atau hukum yang ‘disordered’. Ya wajar-wajar saja, karena itulah semuanya lalu menjadi tugas bersama kita , untuk memperdebatkannya. Jangan malahan merasa tak berdaya lalu diam seribu bahasa. Apalagi kalimat skeptis ‘kita tidak bisa merubah dunia’
Membuat diri sendiri serta masyarakat melek dan sadar hukum, adalah sebuah upaya agar kita semua bisa memperbaiki kualitas untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama.
Apa dan bagaimana caranya? , menurut kami sering-seringlah kita menulis, berbicara mengkritisi sebuah aturan hukum yang tidak berpihak pada diri kita sendiri, karena dari sanalah berbagai suara nantinya akan terkumpul menjadi pendapat yang secara kolektif bisa mewakili satu kelompok golongan masyarakat dan pada akhirnya dapat diperdebatkan untuk saling tarik menarik guna menuju tercapainya produk ‘hukum’ yang diharapkan lebih berkeadilan dari sebelumnya. Pada intinya kita dan masyarakat wajib “kritis”. Dan tidak ada sesuatu yang salah dengan menjadi “kritis”. Hal Itu justru menunjukkan kita adalah bagian dari masyarakat yang cerdas , peka dan sensitif
 Setelah mencermati beberapa uraian diatas timbul tanda tanya besar. Bagian hukum yang mana dan bagaimana yang harus dicermati, dikritisi, atau diragukan oleh kita sebagai masyarakat hukum? Menurut diskusi kami hal-hal yang harus dikritisi (skeptic) dalam hukum adalah:
·           Bagaimana proses hukum itu terbentuk.
Karena proses terbentuknya hukum ini erat kaitannya dengan kualitas output hukum itu sendiri. Bagaimana bisa suatu hukum yang baik dihasilkan dari proses yang tidak baik, hal ini sangat mustahil. Sebagai contoh: di negara Indonesia hukum dibuat oleh lembaga legislative, sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam pembuatan hukum di negara Indonesia terdapat banyak kecurangan. Adanya kecurangan tersebut mengakibatkan hukum di Indonesia hanya memuat kepentingan segelintir kelompok, sedangkan kepentingan masyarakat sama sekali tidak terakomodir dengan  baik.
·           Nilai-nilai hukum yang berlaku
Setelah mengkritisi tentang proses terbentuknya hukum selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana dengan hukum yang telah terlanjur berlaku dalam masyarakat. Berawal dari hal tersebut maka nilai-nilai hukum yang berlaku juga tidak bisa lepas dari pengawasan. Nilai-nilai hukum yang berlaku tetap saja harus dikritisi, dan diragukan (Skeptis) hal ini dimaksudkan jika terjadi ketidaksesuaian dengan kepentingan masyarakat, hukum tersebut dapat segera diamandemen oleh pemerintah demi terciptanya hukum yang lebih baik.
·           Penerapan hukum yang berlaku
Setelah proses terbentuknya dan nilai-nilai hukum yang telah  berlaku di kritisi atau di ragukan (skeptis), mampu dikontrol dan  dibenahi dengan baik maka yang jadi pertanyaan bagaimana dengan penerapannya. Penerapan hukum disini erat kaitannya dengan Aparat-aparat pemerintah sebagai contoh: lembaga Polri. Berhasil atau tidaknya penerapan hukum sangat tergantung dengan kemampuan Aparat-aparat pemerintah dalam mengawasi dan menegakkan hukum yang ada. Oleh karena itu Aparat-aparat pemerintah yang ada hendaknya dibekali oleh moral yang baik. Agar dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan koridor yang seharusnya.

Sedangkan Keraguan dan ketidakpercayaan terhadap hukum tersebut menurut jerome frank (aliran realisme) berasal dari :
1.         Ketidakpastian hukum itu timbul akibat dari peraturan yang tertulis dan penerapan hukum yang mengutamakan keseragaman yang disebut Rule skeptiss.
2.      ketidakpastian hukum itu berasal dari hakim yang mengambil keputusan hukum berdasarkan fakta-fakta yang disebut  Fact skeptiss.

Berdasarkan atas uraian tentang hal apa saja yang perlu diragukan dalam ilmu hukum maka dapat diambil kesimpulan bahwa Sikap skeptis dijadikan suatu alat untuk mengontrol segala kebijakan hukum yang ada dalam masyarakat agar tidak terjadi penyalahgunaan hukum, dan supaya hukum yang ada memang benar-benar memihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Untuk mengakomodir sikap skeptic tersebut munculah suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang hukum yang bertitik tolak pada keraguan dan ketidakpercayaan yaitu filsafat hukum.
Menurut langmeyer: filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, anthoni d’amato mengistilahkan dengan jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis  artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum:
Ø  Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
Ø  Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.

Filsafat hukum dalam mengkaji masalah hukum, kita diajak untuk berfikir kritis dan radikal, atau dalam artian kita diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata, karena jika kita hanya mempelajari arti hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik, jika demikian adanya ketika ia menjadi seorang pengadil (hakim) misalnya, ia hanya menjadi ”corong undang-undang” belaka. Terkait itu penulis sepakat bahwa suatu masalah atau problem pasti dapat dicari apa sebenarnya analisis filsafat hukumnya yang tepat untuk diterapkan, dengan kita menganalisis secara rasional dan kemudian kita mempertanyakan jawaban secara terus menerus, yang jawaban itu tidak hanya dari masalah yang tampak, tetapi sudah pada tataran nilai dari gejala-gejala itu sendiri, maka analisis filsafati seperti inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah yang konkrit.
 Adapun fungsi-fungsi dari filsafat hukum yang merupakan pencerminan sikap skeptis terhadap hukum adalah:
·           Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu merenungkan kembali penerapan sistem hukum serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah yang seharusnya.
·           Filsafat hukum merupakan alat bantu untuk melakukan refleksi dan menemukan kembali cara pandang, metode berpikir serta substansi pemahaman atas nilai-nilai dasar yang harus dicapai melalui instrument hukum.
·           Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan: tujuan-tujuan masyarakat, masalah-masalah hak asasi, kodrat alam.






BAB III
PENUTUP


A.      KESIMPULAN
Dari apa yang telah disampaikan dalam makalah ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya kita tidak dapat memandang miring terhadap sikap skeptis. Karena sikap skeptis mempunyai andil dalam membentuk suatu tatanan menjadi lebih baik lagi. Terutama manfaat yang dirasakan dalam perkembangan ilmu hukum sangatlah besar. Sikap skeptis membantu masyarakat dalam mengkaji hukum yang berlaku saat itu, agar hukum selalu pada jalurnya dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat banyak, dan hukum tidak menjadi komoditas penguasa dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sikap skeptis pada hukum yang tercermin dalam suatu kajian ilmu yang disebut filsafat hukum sangatlah penting dalam membantu perkembangan ilmu hukum di masa yang akan datang. Karena hukum selalu berubah dan selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan zaman.

B.       SARAN
1.         Hendaknya sikap skeptis ini mampu ditanamkan pada diri masyarakat dalam arti positive agar dalam perkembangannya dapat diwujudkan suatu hukum yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat banyak.
2.         Hendaknya filsuf dan para penguasa memberi tempat tersendiri terhadap masyarakat skeptis, sebagai suatu pengontrol dan pengawas terhadap terbentuknya dan perkembangan suatu lapangan hukum baru.


DAFTAR PUSTAKA


Bagis, Zainal Abidin. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi.Bandung: Mizan.
Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad. 2002.  Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama. Bandung : Mizan.


21 comments: