ads

loading...

Tuesday, April 10, 2012

“PEMEKARAN DAERAH”

SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH
“PEMEKARAN DAERAH”

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang masalah
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah.
Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999tentang Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional.Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik1 dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya.Pemekaran daerah dalam tatanan filosofis dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pasal 2 PP 129/2000). Argumentasi untuk ini didasarkan atas beberapa dimensi. Pemekaran akan mempersingkat rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh fasilitas pemerintahan. Pemekaran daerah juga diaspirasikan untuk memperbaiki pemerataan pembangunan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, daerah-daerah yang terbangun hanya daerah yang berdekatan dengan ibu kota pemerintahan daerah. Pemekaran memungkinkan sumber daya mengalir ke daerah yang masih belum berkembang.


B.       Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka dapat kami simpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
a)         Apa yang dimaksud dengan pemekaran daerah itu?
b)        Bagaimana pemekaran daerah di Indonesia?
c)         Pedoman penilaian apa untuk dapat menjalankan pemekaran daerah?
d)        Dampak apa saja yang timbul seiring dengan pemekaran daerah?
e)     Bagaimana langkah yang bisa diambil untuk mencegah gelombang pemekaran daerah yang sangat pesat?


  BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian pemekaran daerah
Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah.
Dalam UU no 32 tahun 2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat 4 dalam UU tersebut dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

B.       Pemekaran daerah di Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan dengan laju yang cukup tinggi. Jumlah penduduk 15 tahun sebelum Indonesia merdeka sekitar 60 juta jiwa menjadi 97 juta jiwa 30 tahun kemudian. Berturut-turut pada tahun 1971, 1981 dan 2005 menjadi 119 juta jiwa, 147 juta jiwa dan 230 juta jiwa [4,7]. Dengan menggunakan ukuran jumlah penduduk sebuah kota sebanyak 500.000 jiwa secara teoritis pada tahun 2005 wilayah Indonesia dapat dibagi dalam 460 daerah otonom (kabupaten dan kota). Angka tersebut akan bertahan paling tidak sampai tahun 2050, dengan asumsi masing masing daerah otonom tersebut berkembang secara merata menjadi kota metropolis dengan jumlah penduduk mendekati angka satu juta jiwa.
Jumlah penduduk minimal sebagai persyaratan pemekaran daerah otonom tingkat kabupaten dan kota dipandang lebih realistis dibanding dengan menggunakan jumlah kecamatan seperti diatur dalam PP nomor 129 tahun 2000. Hasil kajian terhadap 24 daerah otonom baru hasil pemekaran tahun 2003-2004 dapat ditunjukkan bahwa hanya dua daerah otonom(8%) memiliki jumlah penduduk di atas 500.000 jiwa, delapan daerah otonom (33%) berpenduduk di bawah 100.000jiwa (satu di antaranya hanya berpenduduk 11.000 jiwa), sedang daerah otonom lainnya (69%) berpenduduk antara100.000 – 500.000 jiwa. Fakta tersebut diduga memberikan kontribusi terhadap rendahnya pencapaian tujuan otonomi daerah.
Luas daratan Indonesia  terdiri dari wilayah daratan dengan ketinggian antara 0-25 mdpl (28%),antara 26-100 mdpl(24%), antara 101-500 mdpl (23%), antara 501-1000 mdpl (16%) dan dengan ketinggian di atas 1000 mdpl (9%). Fakta tersebut memperlihatkan bahwa luas daratan Indonesia yang relatif paling baik untuk pengembangan permukiman perkotaan (di luar kehutanan, perikanan, pariwisata dan beberapa jenis perkebunan) hanya sekitar 50% yaitu pada wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl.Berdasarkan hasil perkiraan jumlah ideal daerah otonom sebanyak 460 kabupaten dan kota maka secara rata rata satu kabupaten/kota akan memiliki wilayah daratan rata rata seluas 4150 km2 atau rata rata efektif seluas 2075 km2.Penerapan persyaratan luas wilayah menurut PP nomor 129 tahun 2000 terhadap jumlah daerah otonom hasil pemekaran menghasilkan data luas daerah otonom baru yang beragam yaitu 13% memiliki luas di atas 4150 km2, 8% memiliki luas260 km2, 50% memiliki luas 1000-4000 km2 dan 29% memiliki luas antara 300-1000 km2.Dari segi luas wilayah, kurang dari 50% jumlah daerah pemekaran yang memenuhi kriteria ideal, 37% di bawah ideal dan 13% di atas ideal. Hal ini akan menimbulkan implikasi terhadap (1) efektifitas pencapaian tujuan otonomi daerah bagi daerah otonom yang sangat luas dan (2) daerah otonom yang luasnya relatif sempit akan menghadapi persoalan keterbatasan tanah dibanding dengan kecepatan pengembangan wilayahnya.

C.       Pedoman penilaian pemekaran/pembentukan kabupaten/kota/propinsi (pelaksanaan PP no. 129 tahun 2000)
Dalam PP No. 129 tahun 2000 tersebut diuraikan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; karena pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut :
1.      Kemampuan Ekonomi;
2.      Potensi Daerah;
3.      Sosial Budaya;
4.      Sosial Politik;
5.      Jumlah Penduduk;
6.      Luas Daerah;
7.      Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, selaku departemen teknis, selalu diminta untuk memberikan masukan sebagai pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (sebagaimana tercantum dalam butir g. [pasal 3 PP No. 129/2000] di atas) dan/atau masukan lain sebagai pertimbangan teknis untuk menyempurnakan syarat-syarat pembentukan daerah. Untuk menjaga konsistensi penilaian pembentukan/pemekaran daerah, perlu disusun Pedoman Penilaian Pembentukan/Pemekaran Daerah yang ditekankan pada aspek teknis yang mencakup bidang penataan ruang dan permukiman serta prasarana wilayah, dengan senantiasa memperhatikan jiwa dan semangat PP No. 129 tahun 2000.
Peninjauan dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah dimaksudkan untuk :
1.    Mewujudkan daerah yang mampu berkembang secara mandiri;
2.    Menjaga keseimbangan perkembangan daerah antara daerah baru dengan daerah induknya;
3.    Menghindari dampak negatif sosial dan lingkungan akibat adanya pemekaran daerah;
4.    Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana yang optimal (yang dapat melayani seluruh wilayah).
Dengan adanya penilaian dari aspek tata ruang, permukiman dan prasarana wilayah, diharapkan daerah yang akan dimekarkan nantinya akan cepat berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.

D.      Dampak yang ditimbulkan karena pemekaran daerah yang pesat di indonesia.
Dampak dari pemekaran daerah yang cukup pesat ini adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk.

Selain yang disebutkan diatas permasalahan lain ialah jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.
Tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.
Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat, Namun, kriteria yang disampaikan oleh presiden tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.
Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.
Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.
Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota.

E.     Mengendalikan gelombang pemekaran daerah
Gelombang pemekaran daerah yang tidak terkendali ini berpotensi mengakibatkan defisit atau ancaman ‖kebangkrutan nasional‖ baik secara politik, ekonomi, kultur, teknis, dan keamanan nasional. Temuan lain di lapangan28 menunjukan bahwa proses dan pasca pemekaran daerah berdampak pada munculnya gejala politik uang yang menyedot dana APBD daerah induk, penguatan identitas elite lokal/etnis/agama/wilayah yang menggerus nasionalisme, dan semakin banyak yang kalah pilkada cenderung semakin banyak pula rencana mengusulkan pemekaran daerah. Daerah pemekaran baru menyebabkan terjadi split data kependudukan di daerah baru dan daerah induk. Konsekuensinya terjadi kerepotan pembiayaan penyelenggaraan pilkada/pemilu. Muncul sengketa tapal batas dan sengketa lokasi ibu kota. Terjadi involusi politik atau merasa semakin berkuasa tetapi sebenarnya makin mengecilnya lahan kewenangan politiknya. Memberatkan APBD daerah induk dan APBN yang harus menyediakan dana pendamping untuk daerah baru.
Oleh karena itu, memang sudah sepantasnya pemekaran daerah dikendalikan atau dihentikan sementara. Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki grand design for territorial reform. Pemerintah hanya mengandalkan UU 32/2004 dan PP 78/2007 yang longgar. Ditambah lagi banyaknya pintu usulan pemekaran, yakni pintu Depdagri, DPR, dan DPD.Menghentikan total pemekaran daerah adalah belum mungkin sebab harus mencabut dan merevisi UU 32/2004 dan PP 78/2007. Pelarangan pemekaran berarti melanggar kebebasan, hak asasi, dan aspirasi yang dijamin konstitusi. Pelarangan itu dengan sangat mudah dipatahkan dengan pengajuan review ke MK atau MA.
Dalam perspektif politik dan kebijakan, meminjam pemikiran Peter Schroeder (2004), ada dua strategi politik untuk menahan atau menghambat laju pemekaran daerah.
Pertama, tindakan politik pengambangan dan Kedua, deregulasi kebijakan pemekaran daerah.Tindakan politik pengambangan itu dilakukan dengan cara menangguhkan usulan pemekaran. Syaratnya ada komitmen untuk itu, siap menjadi kurang populer, dan siap menanggung resiko untuk tidak dipilih kembali. Di level daerah hal ini bisa dilakukan oleh Bupati/Walikota, DPRD kabupaten/kota, Gubernur, DPRD Provinsi. Di level pusat hal ini bisa dilakukan oleh Depdagri, DPOD, DPR, dan DPD. Kampus atau lembaga penelitian yang mengerjakan studi kelayakan daerah baru mesti juga siap menyatakan bahwa memang daerah itu belum layak untuk dimekarkan. Konsekuensinya siap untuk dijauhi rakyat dan menjadi tidak populer.
Deregulasi kebijakan pemekaran daerah dilakukan dengan cara merevisi kembali PP 78/2007. Substansi yang perlu direvisi adalah memperpanjang masa persiapan pemekaran, mensinkronkan kerja penanganan pemekaran daerah, dan pentingnya penyampaian laporan berkala kemajuan sebagai bentuk monitoring bersama.


 BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan atas dasar pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kehidupan berdemokrasi, meningkatkan pengelolaan potensi wilayah, dan meningkatkan keamanan dan ketertiban.
Dalam PP 129 tahun 2000 tercantum syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai berikut : a. Kemampuan Ekonomi, b. Potensi Daerah, c. Sosial Budaya, d. Sosial Politik, e. Jumlah Penduduk, f. Luas Daerah, g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Permasalahan yang timbul seiring dengan pemekaran daerah adalah:
(1) kesulitan keuangan dan pembiayaan pembangunan
(2) pelayanan publik yang masih sama dan belum membaik
(3) kesejahteraan rakyat yang masih belum baik
(4) sumber daya aparat pemerintah merupakan residu dari daerah induk.

Selain itu, terdapat juga persoalan pasca pemekaran seperti konflik akibatpengalihan rencana lokasi bangunan kantor pemda, prioritas pembangunan fisik untuk pusat kabupaten/kota versus untuk rakyat, ketidakpuasan wilayah tertentu yang tidak dilibatkan dalam pemekaran, serta sengketa tapal batas wilayah induk dan pemekaran.




DAFTAR PUSTAKA

Ida, Laode. 2005.Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia.Media
Indonesia. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id)
Ratnawati, Tri. 2005. Pemekaran Wilayah dan Alternatif Pemecahan Wilayah :
Revisi Mendasar Terhadap PP 129 Tahun 2000. Jakarta : Yayasan Harkat
Bangsa.
www.wikipedia.com

Saturday, April 7, 2012

Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984


ANALISIS PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984

A.      Kronologi Peristiwa Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
Peristiwa Tanjung Priok ini berawal dari hegemoni ideologi Pancasila oleh rejim Suharto pada akhir tahun 1970an. Rejim Suharto setelah menyingkiran gerakan politik kiri memandang organisasi-organisasi Islam politik sebagai musuh utamanya. Organisasi Islam politik disebut sebagai kelompok “ekstrim kanan“ yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Mereka menentang kebijakan-kebijakan seperti indoktrinasi ideology di institusi-institusi pendidikan atau perencanaan perundang-undangan asas tunggal, dimana kebijakan tersebut memaksa partai-partai dan organisasi-organisasi untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideologi mereka.
Kelompok islam menentang karena tidak mau menempatkan agamanya di posisi ke dua. Demikian juga di Tanjung Priok, sebuah daerah pelabuhan di sebelah utara Jakarta, pada awal tahun 1984 muncul sebuah gerakan perlawanan. Amir Biki seorang pengusaha dan mubaligh, mengorganisir beberapa tabligh akbar dimana dalam acara tersebut terdapat kotbah-kotbah kritis tentang korupsi, dominasi ekonomi masyarakat indonesia keturunan tionghoa dan perencanaan perundang-undangan asas tunggal.

Berikut ini adalah kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984:
Sabtu, 8 September 1984
Terjadi konflik antara jemaat mesjid Assa’dah di Tanjung Priok dan petugas Babinsa setempat, sersan satu Hermanu. Setelah jemaat tidak menggubris perintah Hermanu yang menyuruh agar mencabut spanduk-spanduk yang mengkritik pemerintah di sekitar mesjid tersebut, maka sersan satu tersebut dengan cara yang tidak sopan mencoba sendiri mencabut poster tersebut. Hal ini membuat marah para jemaat.
Senin 10 September 1984
Usaha peleraian yang dilakukan oleh dua orang takmir masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman sementara usaha peleraian sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan terhadap 4 orang yaitu: Rambe, Sulaeman, pengurus mushola Achmad Sahi dan seorang tuna karya Muhamad Noor.

Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Pada tanggal 12 September
Amir Biki dan mubaligh lainnya ikut acara tabligh akbar yang berisikan kritik terhadap pemerintah. Sebetulnya acara ini tidak ada hubungannya dengan kasus penangkapan tersebut. Namun Amir Biki dan pendakwah lainnya menggunakan kesempatan tersebut untuk mengajukan tuntutan pembebasan atas empat tahanan yang sudah disebut diatas. Ketika ultimatum yang diajukan Biki yaitu bila pembebasan empat tersangka tersebut hingga pukul 11 malam tidak dipenuhi, ia mengerahkan massa yang berkumpul untuk mengadakan aksi protes. Sekitar 1,500 massa berjalan beriring-iring menuju markas Kodim Jakarta Utara, tempat dimana empat orang tersangka tadi ditahan. Pada saat massa berada di depan Polres Metro Jakarta Utara mereka di hadang oleh satuan regu artileri pertahanan “Udara Sedang“, Arhanudse yang segera melepaskan tembakan ke arah massa. Sampai hari ini seberapa jauh dan penyebab pembantaian ini belum jelas. Pimpinan militer pada waktu itu menyatakan bahwa prajurit artileri atas dasar pertahanan darurat menembaki massa yang bersenjata. Sembilan dinyatakan tewas dan lima puluh tiga luka-luka. Para saksi dan kelompok-kelompok oposisi memberitakan tentang aksi militer yang terencana itu bahwa jumlah korban meninggal ditafsir lebih banyak lagi, yaitu berkisar antara 400 sampai 700 orang. Organisasi-organisasi HAM berkesimpulan bahwa mantan Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Indonesia) Benny Murdani dan Pangdam V Jaya Try Sutrisno telah memerintahkan atau setidaknya dengan sadar telah membiarkan aksi pembantaian tersebut. Menurut laporan para saksi mata Murdani dan Sutrisno muncul pada tanggal 12 September tengah malam di tempat kejadian mengontrol pelaksaan menutup-nutupi aksi pembantaian tersebut. Mayat-mayat dimasukkan ke dalam truk-truk militer lalu di bawa ke tempat lain dan dikuburkan di tempat-tempat yang tidak diketahui. Sedangkan korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, dimana mereka dilarang untuk menerima kunjungan dari keluarga mereka. Pembantaian Tanjung Priok adalah awal mula dari gelombang tindak represif terhadap kritikus-kritikus yang menentang Orde Baru. Korban yang luka-luka pada aksi demonstrasi tersebut dijatuhi hukuman karena aksi perlawanan menentang kekuasaan negara.

Berikut ini adalah daftar jenis-jenis pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok 1984:
1.             Pembunuhan secara kilat (summary killing)
Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.

2.             Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)
Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.

3.             Penyiksaan (Torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.

4.             Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)
Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama adalah menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan dilakukan di malam hari. Kedua adalah menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

B.       SOLUSI
Solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggaran HAM peristiwa Tanjung Priok ini terdiri dari 2, yaitu:
1.         Solusi Represif
Solusi Represif ini merupakan solusi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan dan mengungkap kebenaran dari peristiwa Tanjung Priok ini. Pencarian kebenaran ini bukan tentang siapa yang akan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman karena hal tersebut tidak akan bisa mengembalikan semua yang telah hilang dan semua yang telah rusak menjadi kembali utuh. Tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana keadilan itu bisa ditegakkan, dengan adanya keadilan di negeri ini telah mengindikasikan bahwa saat ini pengadilan telah bebas dari intervensi militer maupun pemerintah. Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mencari kebenaran ini adalah:
·           Mengajukan kembali kasus Tanjung Priok ini kedalam persidangan
·           Mencari bukti-bukti baru terkait peristiwa tersebut dengan berkerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
·           Mencari saksi-saksi baru yang bisa menceritakan kronologis yang sebenarnya tentang Peristiwa tersebut.
2.         Solusi Preventif
Solusi Preventif ini adalah solusi yang dapat dilakukan agar di masa yang akan datang kejadian ini tidak akan terulang lagi. Adapun solusi-solusi preventif yang dapat dilakukan adalah:
·           Mengamalkan Pancasila sebagaimana mestinya sebagai ideology bangsa, dan menjalankan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pancasila dengan UUD 1945 ini harus bisa di amalkan secara bersamaan dan saling melengkapi. Ini dilakukan agar apa yang terjadi di masa orde baru tentang Hegemoni Pancasila tidak terulang lagi karena dengan adanya UUD 1945 maka menjadi penjamin terlindungan HAM bagi warga negara Indonesia.
·           Pemerintah dan instansi terkait misalnya militer dalam konteks ini harus bisa menahan sikap ketika sedang menjalankan tugas demi terjalinnya komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dan ketika terjadi permasalahan hendaknya mampu diselesaikan dengan musyawarah mufakat antara masing-masing pihak dengan melibatkan lembaga-lembaga social kemasyarakatan (LSM) sebagai penengah dan pengawas dalam proses pemecahan masalah.
·           Pemerintah, pemuka agama, dan tokoh-tokoh masyarakat hendaknya saling berdiskusi dan menjalin hubungan yang harmonis. Dengan begitu pemimpin-pemimpin dari berbagai elemen tersebut mampu mengontrol perilaku anak buahnya. Agar tidak ada lagi adu domba dari segelintir orang yang memanfaatkan keuntungan jika terjadi konflik.

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA


DEKLARASI UNIVERSAL
HAK-HAK ASASI MANUSIA


Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB
pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)

Mukadimah

Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa,
Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan,
Menimbang, bahwa pembangunan hubungan persahabatan di antara negara-negara perlu ditingkatkan,
Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas,
Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebesan yang asasi, dalam kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut,
maka dengan ini,


Majelis Umum,
Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.

Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.


Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.

Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11
(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Pasal 13
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara.
(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14
(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.

Pasal 17
(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.

Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.

Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.

Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah.

Pasal 25
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Pasal 27
(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.

Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.