ads

loading...

Thursday, March 17, 2016

ISI BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (PENGANTAR HUKUM PERJANJIAN)

PENGANTAR HUKUM PERJANJIAN



Pengertian dan Pembedaan Antara Perikatan dan Perjanjian
Sebelum memasuki lebih dalam dimensi tentang Hukum Per-janjian ini, maka terlebih dahulu kita harus tahu dan bahkan harus bisa membedakan mengenai apa yang dimaksud perikatan dan apa itu yang dimaksud perjanjian, meskipun keduanya nampak serupa namun ternyata diantara keduanya adalah jelas berbeda, untuk da-pat membedakannya maka simaklah pengertian keduanya berikut ini. Yang dimaksud dengan PERIKATAN adalah adanya suatu hu-bungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal kepada pihak yang lain, dan pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan suatu PERJANJIAN adalah suatu peristiwa dimana seseorang ber-janji kepada seorang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupa-kan sumber penting yang melahirkan perikatan. Perjanjian mempu-nyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perikatan. Seperti contoh adalah perjanjian luhur bangsa, yaitu Undang-undang Dasar’45, maka setiap perikatan yang lahir tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Dasar, untuk itu dikatakan bahwa perjanjian itu dapat menghasilkan perikatan. Atau contoh lain yang lebih sempit adalah Undang-undang Dasar yang kemudian menghasilkan Undang-undang Pokok Agraria, maka setiap perikatan atau dalam hal ini disebut kontrak yang lahir mengenai hal agraria tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria, terlebih Undang-undang Dasar.
Maka kesimpulannya adalah bahwa hubungan hukum antara perjanjian dengan perikatan adalah bahwa perjanjian itu dapat men-erbitkan perikatan. Hal ini dikatakan demikian oleh karena hanya perjanjian yang dapat menghasilkan perikatan, di samping itu ada juga Undang-undang. Untuk itu, akibat hukumnya adalah bahwa ada perikatan yang lahir karena perjanjian dan ada pula perikatan yang lahir karena Undang-undang.

Ruang Lingkup Perjanjian
Seperti kita ketahui bahwa dalam sistem KUHPerdata perihal mengenai perikatan yang mengatur mengenai bagian umum dan bagian khusus bagi berlakunya suatu perikatan pada umumnya, bagian umum mana memuat misalnya ketantuan tentang bagaimana lahir & hapusnya suatu perikatan serta jenis-jenis perikatan. Sedang-kan bagian khusus memuat hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya mengenai peraturan-peraturan yang lazim dipakai oleh masyarakat umum dan perjanjian mana telah memakai nama-nama tertentu, mi-salnya jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, hibah (schenking), dll.
Berdasarkan Ps. 1338 KUHPerdata yang berbunyi :
“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Maka itu dapat dikatakan bahwa KUHPerdata menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrij-heid) atau disebut juga dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa orang bebas untuk melakukan suatu perjanjian sejauh perjanjian mana diatur di dalam KUHPerdata. Menurut Prof. Subekti, SH. bahwa hal yang dimaksudkan sebagai asas kebebasan dalam Ps. 1338 KUHPerdata adalah bahwa “tiap-tiap perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak”. Pengertian mana mencerminkan bahwa setiap orang berhak dan leluasa untuk membuat Perjanjian apapun sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan.

Syarat Sahnya Perjanjian
Bahwa dari berbagai sumber mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur tentang Syarat Sah Perjanjian adalah diatur dalam Ps. 1320 KUHPerdata, yang memuat :
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
b.      kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
c.       suatu hal tertentu ;
d.      suatu sebab yang halal”.

Berdasarkan ketentuan syarat sah perjanjian sebagaimana di-muat di atas, dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat sebagaimana termaktub dalam angka (1) dan (2) dinamakan syarat Subjektif, dikatakan demikian karena syarat tersebut berkenaan dengan “orang” selaku subjek hu-kum yang melakukan perbuatan hukum perjanjian itu. Sedangkan syarat sebagaimana termaktub pada angka (3) dan (4) disebut syarat Objektif, dikatakan demikian karena syarat ini berkenaan dengan perjanjiannya atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.
Berdasarkan Ps. 1320 KUHPerdata, maka dapat diuraikan atas hal-hal sebagai berikut :
a.      Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Pernyataan “sepakat” berarti bahwa masing-masing pihak telah mengizinkan atas berjalannya suatu perjanjian sebagaimana mereka kehendaki mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan, ma-ka dalam koridor ini berlaku bahwa apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, bagitu juga dikehendaki oleh pihak lainnya untuk mana dikatakan kedua belah pihak telah “sepakat”.

b.      Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Yang dimaksud disini adalah bahwa tiap-tiap pihak yang berhak untuk membuat suatu perjanjian adalah mereka yang cakap menurut hukum (om eene verbintenis aan te gaan). Dalam Ps. 1329 KUHPerdata termaktub :
“setiap orang adalah cakap (bevoegd) untuk mem-buat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-und-ang tidak dinyatakan tak caka”.
“Kecakapan bertindak” menunjuk pada kewenangan yang umum, yaitu kewenangan umum untuk menutup perjanjian melakukan tindakan hukum pada umumnya, sengankan “Kewenangan bertindak” menunjuk pada kewenangan yang khusus, maka ketidakwenangan adalah keadaan seseorang yang menghalangi un-tuk melakukan tindakan hukum tertentu. Orang yang tidak wenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak, namun untuk “hal-hal tertentu” tidak. Maka dalam konteks ini “tidak we-nang” adalah tidak wenang dalam hal menutup perjanjian tertentu (secara sah). Maka kesimpulannya adalah bahwa orang yang tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat menutup perjan-jian, sedangkan orang yang tidak wenang adalah orang yang oleh Undang-undang tidak dibenarkan/ tidak diperbolehkan untuk me-nutup perjanjian tertentu.
Untuk dapat mengetahui perihal batasan-batasan bagi mereka yang tak cakap menurut hukum adalah dalam Ps. 1330 KUHPerdata Sebagai berikut :
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
o      orang yang belum dewasa ;
o      mereka yang ditaruh di bawah pengampuan ;
o  orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjan-jian-perjanjian tertentu”.


Sebagaimana hal dimaksud di dalam Ps. 1330 KUHPerdata adalah :
·          orang yang belum dewasa ;
Di dalam KUHPerdata istilah ‘Pendewasaan’ adalah menun-
juk pada ketentuan atas Ps. 330 KUHPerdata, yang kurang-lebih berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum men-capai umur genap 21 tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebe-lum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah per-walian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini.
Penentuan arti istilah ‘belum dewasa’ yang dipakai dalam beberapa Undang-undang terhadap bangsa Indonesia.
Ordonansi 31 Januari 1931, L.N. 1931 – ’45.
Untuk menghilangkan segala keraguan yang timbul karena ordonansi 21 Desember 1917, L.N. 1917–138, dengan mencabut ordonansi ini, diten-tukan sebagai berikut :
1.      Apabila peraturan Undang-undang memakai istilah ‘belum dewasa’, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia dengan istilah yang dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur 21 tahun atau tidak lebih dahulu telah kawin.
2.      Apabila perkawinan tersebut dibubarkan se-belum umur mereka genap 22 tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum dewasa.
3.      Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak”.

Kesimpulannya adalah, dikatakan belum dewasa (iminderja-rig) yaitu belum berumur 21 tahun penuh dan belum ka-win. Apabila ia telah kawin, sebelum umur 21 tahun, itu bercerai, maka tidak akan kembali pada keadaan belum dewasa. Dari ketentuan tersebut kiranya dapat diketahui a contrario orang dewasa (meerderjarig) adalah orang yang su-dah penuh berumur 21 tahun. Dan mereka yang belum ge-nap berumur 21 tahun namun telah kawin.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat Undang-undang ini maka disebut sebagai ‘kedewasaan’, maka orang yang berada dalam keadaan dewasa ini telah cakap untuk melakukan semua perbuatan hukum. Namun, lain lagi apabila dalam keadaan-keadaan sangat penting tertentu, ada kala-nya diperlukan kedudukan orang yang belum dewasa ini disamakan dengan orang yang telah dewasa, maksudnya agar orang tersebut mempunyai kewenangan untuk menye-lesaikan/mengurus kepentingannya sendiri dan/atau mela-kukan perbuatan hukum tertentu yang dapat dipertang-gung-jawabkan. Dalam konteks hukum perdata pengertian inilah yang disebut sebagai dengan istilah “Pendewasaan” (Handlichting). Maka mereka yang telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan ketentuan di atas adalah “cakap” untuk melakukan perbuatan hukum, sedangkan mereka yang tidak sesuai digolongkan sebagai orang yang belum cakap.
·          mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Curandi) ;
Yang dimaksud sebagai orang yang ditaruh di bawah peng-ampuan menurut Undang-undang ini adalah mereka yang pada dasarnya mempunyai kelainan kecerdasan dan/atau yang lainnya sehingga yang bersangkutan tidak dapat mela-kukan perbuatan hukumnya sendiri, melainkan harus meng-hadirkan wakil/wali dalam setiap perbuatan hukumnya38 dan Undang-undang menyatakan “kedudukan hukum seo-rang curandus adalah sama dengan anak belum dewasa” sebagaimana ditegaskan dalam Ps. 452 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Setiap orang yang ditaruh di bawah peng-ampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa”
Menurut Hukum, orang yang berada di bawah pengam-puan tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya, maka itu ia berada di bawah pengampuan. Mereka mempu-nyai kedudukan yang disamakan dengan orang yang belum dewasa, jika orang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka orang yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kurator-nya.

orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjan-jian-perjanjian tertentu”.
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahwa tiap-tiap perempuan yang mempunyai suami, yang apabila ia hendak melakukan setiap perjanjian dan atau perbuatan hukum lainnya adalah harus berdasarkan izin atau persetujuan dari suaminya, sebagaimana termaktub dalam Ps. 108 KUHPer-data yang berbunyi :
“Seorang istri, biarpun ia kawin di luar persatu-an harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekalipun, namun tak boleh ia menghi-bahkan barang sesuatu atau memindahtangan-kannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis dari suaminya”.
Hal sebagaimana diatur dalam Ps. 108 KUHPerdata ini adalah tidak berlaku manakala sang istri dalam malakukan hal tersebut adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan atas rumah tangganya, maka dalam hal ini suami dianggap telah menguasakannya, dalam sistem hukum Belanda kekuasaan suami ini disebut sebagai “maritale macht”.
Sedang mereka yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu, mereka itu adalah :
1.      Suami-istri yang oleh Ps. 1467 KUHPerdata dinyatakan tidak wenang untuk melakukan transaksi jual-beli yang satu kepada yang lain ;
2.      Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat, Pengacara, Jurusita dan Noratis dilarang mengoper hak dan tagihan yang sedang disengketakan dalam wilayah hukum dimana mereka melakukan pekerjaan mereka atas ancaman ke-batalan, serta penggantian biaya, rugi dan bunga;
3.      Pejabat Umum, baik sendiri maupun melalui perantara, juga dilarang atas ancaman yang sama untuk membeli untuk dirinya sendiri atau untuk orang perantara ben-da-benda yang dijual oleh atau dihadapannya ;
4.      Demikian pula dilarang untuk membeli, baik sendiri maupun melalui kuasa :
Kuasa, atas baramg untuk mana ia dikuasakan untuk menjual ;
Kurator, atas benda-benda milik negara dan lembaga publik, yang pemeliharaan dan pengurusannya dise-rahkan kepada mereka.
5.      Para pesero yang tidak melakukan beheer, tidak diperke-nankan untuk mengasingkan, menggadaikan, membe-bani benda-benda milik perseroan.


Suatu Hal Tertentu (een bepaald onderwerp)
Hal yang dikehendaki Undang-undang adalah bahwa adanya suatu hal yang diperjanjikan, mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditetapkan dalam perjanjian tersebut yang bilamana terjadi perselisihan dapat diselesaikan secara adil. Bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai “pokok” suatu benda (zaak) yang diperjanjikan setidak-tidaknya harus disebutkan jenisnya, sedangkan mengenai jumlah barang yang diperjanjikan juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asalkan kemudian dapat dihitung dan ditentukan.
Hal itu tidak berarti bahwa perjanjian sudah memenuhi syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan. Ketentuan tersebut harus ditafsirkan bahwa objek perjanjian harus “tertentu”, sekalipun masing-masing objek tidak harus “secara in-dividual” tertentu. Dalam Ps. 1333 KUHPerdata ayat (2) dinyatakan bahwa jumlah barang yang diperjanjikan jumlahnya boleh belum tertentu, asalkan kemudian dapat dihitung dan ditentukan. Namun apabila pada saat perjanjian ditutup objeknya sama sekali tidak ter-tentu atau tidak ada, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Objek Perjanjian merupakan prestasi yang menjadi pokok per-janjian bagi pihak-pihak yang bersangkutan, prestasi mana dapat berbentuk perbuatan (handeling), bisa berupa memberikan sesuatu dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Adalah masuk akal apabila Undang-undang mensyaratkan adanya suatu “hal tertentu” sebagai objek perjanjian. Apabila tidak, maka bagaimana kita akan menilai apakah seseorang telah memenuhi prestasinya atau belum, maka perjanjian yang tidak memiliki “hal tertentu” adalah batal demi hukum.

Suatu Sebab Yang Halal (justa causa)
Dengan sebab (oorzaak), dengan segera harus dihilangkan segala unsur salah sangka, maka suatu perjanjian yang tidak berlan-daskan atas sebab yang halal dipandang tidak sah menurut hukum. Dengan kata lain, di sini kita membicarakan apa yang menjadi esensi perjanjian, bahwa KUHPerdata menetapkan untuk sahnya perjanjian, selain dari harus ada kausanya, kausanya juga harus halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Ps. 1335, Ps. 1336, Ps. 1337 KUHPerdata, yang berbunyi :
“ 1335. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terla-rang, tidak mempunyai kekuatan.
1336. Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.
1337. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Di atas telah dijelaskan bahwa pada hakikatnya setiap orang diperbolehkan untuk bebas dan leluasa melakukan perbuatan hu-kum sejauh mana tidak bertentangan dengan Undang-undang dan kesusilaan. Artinya untuk menjaga ketertiban umum di dalam mas-yarakat. Jadi, disamping prestasi sebagai unsur pemenuhan atas isi perjanjian itu harus “tertentu”, dasar prestasinyapun harus “halal” sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. 

No comments:

Post a Comment