PENGANTAR HUKUM
PERJANJIAN
Pengertian dan Pembedaan Antara Perikatan dan Perjanjian
Sebelum memasuki lebih dalam dimensi tentang Hukum
Per-janjian ini, maka terlebih dahulu kita harus tahu dan bahkan harus bisa
membedakan mengenai apa yang dimaksud perikatan dan apa itu yang dimaksud
perjanjian, meskipun keduanya nampak serupa namun ternyata diantara keduanya
adalah jelas berbeda, untuk da-pat membedakannya maka simaklah pengertian
keduanya berikut ini. Yang dimaksud dengan PERIKATAN adalah adanya suatu
hu-bungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang
satu berhak untuk menuntut sesuatu hal kepada pihak yang lain, dan pihak yang
lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan yang
dimaksud dengan suatu PERJANJIAN adalah suatu peristiwa dimana seseorang
ber-janji kepada seorang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perjanjian
merupa-kan sumber penting yang melahirkan perikatan. Perjanjian mempu-nyai
ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perikatan. Seperti contoh
adalah perjanjian luhur bangsa, yaitu Undang-undang Dasar’45, maka setiap
perikatan yang lahir tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-undang
Dasar, untuk itu dikatakan bahwa perjanjian itu dapat menghasilkan perikatan.
Atau contoh lain yang lebih sempit adalah Undang-undang Dasar yang kemudian
menghasilkan Undang-undang Pokok Agraria, maka setiap perikatan atau dalam hal
ini disebut kontrak yang lahir mengenai hal agraria tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria, terlebih Undang-undang Dasar.
Maka kesimpulannya adalah bahwa hubungan
hukum antara perjanjian dengan perikatan adalah bahwa perjanjian itu dapat
men-erbitkan perikatan. Hal ini dikatakan demikian oleh karena hanya perjanjian
yang dapat menghasilkan perikatan, di samping itu ada juga Undang-undang. Untuk
itu, akibat hukumnya adalah bahwa ada perikatan yang lahir karena perjanjian
dan ada pula perikatan yang lahir karena Undang-undang.
Ruang Lingkup Perjanjian
Seperti kita
ketahui bahwa dalam sistem KUHPerdata perihal mengenai perikatan yang mengatur
mengenai bagian umum dan bagian khusus bagi berlakunya suatu perikatan pada
umumnya, bagian umum mana memuat misalnya ketantuan tentang bagaimana
lahir & hapusnya suatu perikatan serta jenis-jenis perikatan. Sedang-kan
bagian khusus memuat hal-hal yang lebih spesifik lagi, misalnya mengenai
peraturan-peraturan yang lazim dipakai oleh masyarakat umum dan perjanjian mana
telah memakai nama-nama tertentu, mi-salnya jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian
perburuhan, maatschap, hibah (schenking), dll.
Berdasarkan Ps.
1338 KUHPerdata yang berbunyi :
“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”.
Maka itu dapat dikatakan
bahwa KUHPerdata menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel
der contractsvrij-heid) atau disebut juga dengan sistem terbuka, yang
artinya bahwa orang bebas untuk melakukan suatu perjanjian sejauh perjanjian
mana diatur di dalam KUHPerdata. Menurut Prof. Subekti, SH. bahwa hal
yang dimaksudkan sebagai asas kebebasan dalam Ps. 1338 KUHPerdata adalah bahwa “tiap-tiap
perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak”. Pengertian mana
mencerminkan bahwa setiap orang berhak dan leluasa untuk membuat Perjanjian
apapun sejauh tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Bahwa dari
berbagai sumber mengatakan bahwa ketentuan yang mengatur tentang Syarat Sah
Perjanjian adalah diatur dalam Ps. 1320 KUHPerdata, yang memuat :
“Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat :
a.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
b.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
c.
suatu hal tertentu ;
d. suatu
sebab yang halal”.
Berdasarkan ketentuan syarat sah perjanjian sebagaimana
di-muat di atas, dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif. Syarat sebagaimana termaktub dalam
angka (1) dan (2) dinamakan syarat Subjektif, dikatakan demikian karena syarat
tersebut berkenaan dengan “orang” selaku subjek hu-kum yang melakukan perbuatan
hukum perjanjian itu. Sedangkan syarat sebagaimana termaktub pada angka (3) dan
(4) disebut syarat Objektif, dikatakan demikian karena syarat ini berkenaan
dengan perjanjiannya atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek
hukum.
Berdasarkan Ps. 1320 KUHPerdata, maka dapat diuraikan atas
hal-hal sebagai berikut :
a.
Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Pernyataan “sepakat” berarti
bahwa masing-masing pihak telah mengizinkan atas berjalannya suatu perjanjian
sebagaimana mereka kehendaki mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan, ma-ka
dalam koridor ini berlaku bahwa apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu,
bagitu juga dikehendaki oleh pihak lainnya untuk mana dikatakan kedua belah
pihak telah “sepakat”.
b. Kecakapan
Untuk Membuat Suatu Perikatan
Yang dimaksud disini adalah bahwa tiap-tiap pihak yang berhak
untuk membuat suatu perjanjian adalah mereka yang cakap menurut hukum (om
eene verbintenis aan te gaan). Dalam Ps. 1329 KUHPerdata termaktub :
“setiap orang adalah
cakap (bevoegd) untuk mem-buat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-und-ang
tidak dinyatakan tak caka”.
“Kecakapan bertindak” menunjuk
pada kewenangan yang umum, yaitu kewenangan umum untuk menutup perjanjian melakukan
tindakan hukum pada umumnya, sengankan “Kewenangan bertindak” menunjuk
pada kewenangan yang khusus, maka ketidakwenangan adalah keadaan seseorang yang
menghalangi un-tuk melakukan tindakan hukum tertentu. Orang yang tidak wenang
adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak, namun untuk “hal-hal
tertentu” tidak. Maka dalam konteks ini “tidak we-nang” adalah tidak wenang
dalam hal menutup perjanjian tertentu (secara sah). Maka kesimpulannya adalah
bahwa orang yang tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat menutup
perjan-jian, sedangkan orang yang tidak wenang adalah orang yang oleh
Undang-undang tidak dibenarkan/ tidak diperbolehkan untuk me-nutup perjanjian
tertentu.
Untuk dapat mengetahui perihal batasan-batasan bagi mereka yang
tak cakap menurut hukum adalah dalam Ps. 1330 KUHPerdata Sebagai berikut
:
“Tak cakap
untuk membuat suatu perjanjian adalah :
o orang yang belum
dewasa ;
o mereka yang ditaruh
di bawah pengampuan ;
o orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang, dan umumnya semua
orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjan-jian-perjanjian
tertentu”.
Sebagaimana hal dimaksud di dalam Ps. 1330 KUHPerdata adalah
:
·
orang yang belum dewasa ;
Di dalam KUHPerdata istilah ‘Pendewasaan’ adalah
menun-
juk pada ketentuan atas Ps. 330
KUHPerdata, yang kurang-lebih berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum men-capai umur genap 21
tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebe-lum umur mereka genap
21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada di bawah per-walian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur
dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini.
Penentuan arti istilah ‘belum dewasa’ yang
dipakai dalam beberapa Undang-undang terhadap bangsa Indonesia.
Ordonansi 31 Januari 1931, L.N. 1931 – ’45.
Untuk menghilangkan segala keraguan yang timbul karena ordonansi
21 Desember 1917, L.N. 1917–138, dengan mencabut ordonansi ini, diten-tukan
sebagai berikut :
1.
Apabila peraturan Undang-undang memakai
istilah ‘belum dewasa’, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia dengan
istilah yang dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur 21 tahun atau tidak
lebih dahulu telah kawin.
2.
Apabila perkawinan tersebut dibubarkan se-belum
umur mereka genap 22 tahun, maka mereka tidak kembali dalam keadaan belum
dewasa.
3.
Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan
anak-anak”.
Kesimpulannya adalah, dikatakan belum dewasa (iminderja-rig)
yaitu belum berumur 21 tahun penuh dan belum ka-win. Apabila ia
telah kawin, sebelum umur 21 tahun, itu bercerai, maka tidak akan kembali pada
keadaan belum dewasa. Dari ketentuan tersebut kiranya dapat diketahui a
contrario orang dewasa (meerderjarig) adalah orang yang su-dah penuh
berumur 21 tahun. Dan mereka yang belum ge-nap berumur 21 tahun namun telah
kawin.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat Undang-undang
ini maka disebut sebagai ‘kedewasaan’, maka orang yang berada dalam
keadaan dewasa ini telah cakap untuk melakukan semua perbuatan hukum.
Namun, lain lagi apabila dalam keadaan-keadaan sangat penting tertentu, ada
kala-nya diperlukan kedudukan orang yang belum dewasa ini disamakan dengan
orang yang telah dewasa, maksudnya agar orang tersebut mempunyai kewenangan
untuk menye-lesaikan/mengurus kepentingannya sendiri dan/atau mela-kukan
perbuatan hukum tertentu yang dapat dipertang-gung-jawabkan. Dalam konteks
hukum perdata pengertian inilah yang disebut sebagai dengan istilah
“Pendewasaan” (Handlichting). Maka mereka yang telah memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan ketentuan di atas adalah “cakap” untuk melakukan
perbuatan hukum, sedangkan mereka yang tidak sesuai digolongkan sebagai orang
yang belum cakap.
·
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Curandi) ;
Yang
dimaksud sebagai orang yang ditaruh di bawah peng-ampuan menurut Undang-undang
ini adalah mereka yang pada dasarnya mempunyai kelainan kecerdasan dan/atau
yang lainnya sehingga yang bersangkutan tidak dapat mela-kukan perbuatan
hukumnya sendiri, melainkan harus meng-hadirkan wakil/wali dalam setiap
perbuatan hukumnya38 dan Undang-undang menyatakan “kedudukan hukum seo-rang
curandus adalah sama dengan anak belum dewasa” sebagaimana ditegaskan dalam Ps.
452 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Setiap orang yang ditaruh di bawah peng-ampuan, mempunyai
kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa”
Menurut Hukum, orang yang
berada di bawah pengam-puan tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya,
maka itu ia berada di bawah pengampuan. Mereka mempu-nyai kedudukan yang
disamakan dengan orang yang belum dewasa, jika orang yang belum dewasa harus
diwakili oleh orang tua atau walinya, maka orang yang berada di bawah pengampuan
harus diwakili oleh pengampu atau kurator-nya.
orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-undang, dan umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah
melarang membuat perjan-jian-perjanjian tertentu”.
Yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahwa tiap-tiap perempuan yang mempunyai
suami, yang apabila ia hendak melakukan setiap perjanjian dan atau perbuatan
hukum lainnya adalah harus berdasarkan izin atau persetujuan dari suaminya,
sebagaimana termaktub dalam Ps. 108 KUHPer-data yang berbunyi :
“Seorang istri, biarpun ia kawin di luar persatu-an harta
kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekalipun, namun tak boleh ia
menghi-bahkan barang sesuatu atau memindahtangan-kannya, atau memperolehnya,
baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta,
atau dengan izin tertulis dari suaminya”.
Hal
sebagaimana diatur dalam Ps. 108 KUHPerdata ini adalah tidak berlaku
manakala sang istri dalam malakukan hal tersebut adalah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan atas rumah tangganya, maka dalam hal ini suami dianggap telah
menguasakannya, dalam sistem hukum Belanda kekuasaan suami ini disebut sebagai “maritale
macht”.
Sedang mereka yang
dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu, mereka itu
adalah :
1.
Suami-istri yang oleh Ps. 1467 KUHPerdata dinyatakan tidak wenang untuk
melakukan transaksi jual-beli yang satu kepada yang lain ;
2.
Hakim,
Jaksa, Panitera, Advokat, Pengacara, Jurusita dan Noratis dilarang mengoper hak dan
tagihan yang sedang disengketakan dalam wilayah hukum dimana mereka melakukan
pekerjaan mereka atas ancaman ke-batalan, serta penggantian biaya, rugi dan
bunga;
3.
Pejabat Umum, baik sendiri maupun melalui perantara, juga
dilarang atas ancaman yang sama untuk membeli untuk dirinya sendiri atau untuk
orang perantara ben-da-benda yang dijual oleh atau dihadapannya ;
4.
Demikian pula dilarang untuk membeli, baik sendiri maupun melalui
kuasa :
Kuasa, atas baramg untuk mana ia dikuasakan untuk menjual ;
Kurator, atas benda-benda milik negara dan lembaga publik, yang
pemeliharaan dan pengurusannya dise-rahkan kepada mereka.
5.
Para pesero yang tidak melakukan beheer, tidak
diperke-nankan untuk mengasingkan, menggadaikan, membe-bani benda-benda milik
perseroan.
Suatu Hal Tertentu (een bepaald onderwerp)
Hal yang
dikehendaki Undang-undang adalah bahwa adanya suatu hal yang diperjanjikan,
mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus ditetapkan dalam
perjanjian tersebut yang bilamana terjadi perselisihan dapat diselesaikan secara
adil. Bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai “pokok” suatu benda (zaak)
yang diperjanjikan setidak-tidaknya harus disebutkan jenisnya, sedangkan
mengenai jumlah barang yang diperjanjikan juga jumlahnya tidak perlu
disebutkan, asalkan kemudian dapat dihitung dan ditentukan.
Hal itu
tidak berarti bahwa perjanjian sudah memenuhi syarat, kalau jenis objek
perjanjiannya saja yang sudah ditentukan. Ketentuan tersebut harus ditafsirkan
bahwa objek perjanjian harus “tertentu”, sekalipun masing-masing objek
tidak harus “secara in-dividual” tertentu. Dalam Ps. 1333 KUHPerdata ayat
(2) dinyatakan bahwa jumlah barang yang diperjanjikan jumlahnya boleh belum
tertentu, asalkan kemudian dapat dihitung dan ditentukan. Namun apabila pada
saat perjanjian ditutup objeknya sama sekali tidak ter-tentu atau tidak ada,
maka hal ini tidak diperbolehkan.
Objek
Perjanjian merupakan prestasi yang menjadi pokok per-janjian bagi pihak-pihak
yang bersangkutan, prestasi mana dapat berbentuk perbuatan (handeling), bisa
berupa memberikan sesuatu dan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Adalah masuk akal apabila Undang-undang mensyaratkan adanya
suatu “hal tertentu” sebagai objek perjanjian. Apabila tidak, maka
bagaimana kita akan menilai apakah seseorang telah memenuhi prestasinya atau
belum, maka perjanjian yang tidak memiliki “hal tertentu” adalah batal demi
hukum.
Suatu Sebab Yang
Halal (justa causa)
Dengan sebab
(oorzaak), dengan segera harus dihilangkan segala unsur salah
sangka, maka suatu perjanjian yang tidak berlan-daskan atas sebab yang halal
dipandang tidak sah menurut hukum. Dengan kata lain, di sini kita
membicarakan apa yang menjadi esensi perjanjian, bahwa KUHPerdata menetapkan
untuk sahnya perjanjian, selain dari harus ada kausanya, kausanya juga harus
halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Ps. 1335, Ps. 1336, Ps. 1337
KUHPerdata, yang berbunyi :
“ 1335. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terla-rang, tidak mempunyai
kekuatan.
1336. Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang
halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan,
perjanjiannya namun demikian adalah sah.
1337. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”.
Di atas telah dijelaskan
bahwa pada hakikatnya setiap orang diperbolehkan untuk bebas dan leluasa
melakukan perbuatan hu-kum sejauh mana tidak bertentangan dengan Undang-undang
dan kesusilaan. Artinya untuk menjaga ketertiban umum di dalam mas-yarakat.
Jadi, disamping prestasi sebagai unsur pemenuhan atas isi perjanjian itu harus
“tertentu”, dasar prestasinyapun harus “halal” sebab isi perjanjian itulah yang
akan dilaksanakan.
No comments:
Post a Comment