ads

loading...

Saturday, October 13, 2012

Politik Era Orde Baru dari Perspektif Infrastruktur dan Suprastruktur Politiknya


A.      Praktek politik pada masa demokrasi pancasila (apakah demokratis atau tidak) ?
Menurut hasil analisa terhadap bukti-bukti sejarah pada masa demokrasi pancasila (masa orde baru), praktek politik saat itu semakin menjauh dari kata demokratis, walaupun saat itu terjadi hegemoni terhadap pancasila tapi hal itu hanya sebatas kedok, karena pada prakteknya pemerintahan Soeharto dapat dikategorikan sebagai pemerintahan yang otoriter. Banyak sekali penyimpangan yang dilakukan era orde baru terkait dengan praktek politik yang dijalankan yang mengakibatkan jalannya pemerintahan tidak demokratis, adapun bentuk-bentuk praktek politiknya diantaranya adalah:
1.         Adanya dominasi militer dalam politik Indonesia era orde baru
Pemerintahan orde baru dibawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan orde baru. Dampak dominasi militer pada masa orde baru munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi karena  dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki Kontras (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer ditimur-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam penyelenggaraan Negara.
2.         Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
B.       Kestabilan politik pada masa orde baru (dominasi golkar disebabkan oleh beberapa faktor) Sebutkan!
Ketika pemerintahan orde baru menegaskan untuk fokus pada masalah pembangunan ekonomi, maka prasyarat utamanya tentunya masalah stabilitas politik. Sedangkan saat itu tidak ada kekuatan di Indonesia saat itu yang lebih memungkinkan digunakan untuk menciptakan stabilitas selain militer. Atas pertimbangan inilah kemudian Soeharto melakukan upaya menciptakan stabilitas politik, salah satu langkah yang diambil yakni menempatkan militer dalam posisi strategis pemerintahan dan lembaga politik khususnya Golkar dan lembaga legislatif. Fungsinya untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat dan ”mengikat kaki dan tangan” partai politik agar tidak melakukan aktivitas oposisi.
Memang saat itu kestabilan politik terwujud karena adanya praktek politik yang dilakukan oleh Soeharto yang meng-anak emaskan golkar. Sehingga golkar mampu dominan daripada partai PDI ataupun PPP. Adapun faktor-faktor penyebab dominannya partai golkar adalah:
1.         Peraturan Monoloyalitas yaitu kebijakan pemerintahan orde baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada golongan karya.
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrumen politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya
2.         Dominasi Militer dalam tubuh Golkar.
Dominasi militer juga terjadi pada struktur Golkar, kondisi ini bisa dipahami dikarenakan Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan orde baru. Hubungan Golkar-militer cukup dimanis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar. Ketua Sekber Golkar di Dati I pada umumnya dijabat purnawirawan ABRI dan banyak pula yang masih aktif. Ketua Sekber Dati II hampir semuanya dijabat anggota ABRI aktif. Pada Munas 1 Golkar di surabaya, 4-9 September 1973, ABRI menempatkan perwira aktif kedalam struktur DPP dan hampir seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif.

C.      Mengapa politik orde baru tumbang? (dilihat dari supra/ infrastruktur)
Pada pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi melanda Asia yang menyebabkan kondisi ekonomi negara-negara Asia termasuk Indonesia sangat memprihatinkan. Adapun krisis ini disebabkan karena keterikatan sistem ekonomi Indonesia atau global dimana IMF, Bank Dunia, dan lembaga keuangan lain menjadi salah satu sumber keuangan Indonesia dalam pembiayaan pembangunan nasional. Krisis ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai mata uang rupiah bersamaan dengan melambungnya nilai mata uang dollar serta diikuti dengan melambungnya harga-harga kebutuhan sembako, harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.
Ada dua pendapat yang menyatakan terjadinya krisis ekonomi di Asia, khususnya di Indonesia adalah: Pertama, pendapat ini menekankan bahwa krisis ini tidak dipengaruhi oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah atau faktor-faktor internal suatu negara, tetapi lebih disebabkan oleh para pelaku di pasar modal. Seperti yang dikemukakan oleh Obstfeld (1996) dan Griffith-Jones (1998), serangan spekulator tidak didorong oleh lemahnya fundamental ekonomi tetapi lebih disebabkan oleh ekspektasi memburuknya kondisi makroekonomi suatu negara, yang ironisnya merupakan dampak dari perilaku para spekulan tersebut, sehingga para spekulan dapat melakukan aksi profit taking yang sebesar-besarnya sebelum krisis dan pasca krisis. Kedua, pendapat ini dikemukakan oleh ekonom terkenal yaitu Krugman (1998) yang menyatakan bahwa krisis ini adalah ‘hukuman’ bagi ‘dosa’ yang dilakukan negara-negara Asia pada umumnya. Pihak swasta meyakini pemerintah akan membantu dan memberikan jaminan sepenuhnya terhadap kewajiban luar negeri apabila mereka terlibat kesulitan (Subandoro, Ali Winoto dalam Selo Soemardjan, 1999 : 78). Kontradiksi internal yang demikian menciptakan keretakan pada dinding sistem politik Orde Baru. Kontradiksi ini juga memberi keterbukaan politik bagi kelompok-kelompok yang pro-reformasi, khususnya kaum intelektual, aktivis sosial, politik, dan mahasiswa yang berjuang untuk demokrasi yang lebih baik sejak awal Orde Baru. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Gerakan ini diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakatpun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Organisasi mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya Presiden tercapai, tapi perjuangan ini harus melalui tragedi Trisakti dan tragedi Semanggi dengan gugurnya beberapa mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat militer bersenjata (Hikam, Muhammad. 1999: 85). Era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya pada saat presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswapun meluas hampir diseluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.


DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul.2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wayan, I Badrika.(2006).Sejarah:Untuk SMA Kelas XI.Jakarta: Erlangga.
Mas’oed Mohtar (1997). “Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Pustaka Pelajar Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment